Ada seorang wanita mendapatkan dirinya sedang datang bulan atau haid
saat haji dan umrah? bagaimanakah seharusnya yang harus dilakukan?
Pertanyaan:
Salam ustadz, saya
berencana haji tahun ini, lalu bagaimana jika ternyata saat haji atau umrah datingbulan atau haid? Apakah haji dan umrah saya sah? Lalu apa yang seharusnya saya
lakukan ketika datang bulan saat haji maupun umrah?
Jawaban:
Wassalamu’alikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Semoga Allah subhanahuwata’ala
Memampukan orang-orang yang dipanggilNYa untuk mendatangi Baitullah dan
melaksanakan ibadah Haji maupun Umrah. Aamiin.
Berhubungan dengan
pertanyaan diatas, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita jikamendapatkan haid saat haji ataupun umrah? Maka disini kita akan melihat dan
merinci terlebih dahulu kapan waktunya seorang wanita yang haid diperbolehkan
untuk menjalankan rangkaian ibadah selama haji maupun umrah. Karena tidak semua
ibadah dalam haji dan umrah tersebut mensyaratkan thaharah. Meskipun hal
tersebut lebih baik dan afdhal.
Para ulama sepakat
bahwa wanita haid diperbolehkan melakukan segala rangkaian ibadah haji dan
umrah dalam kondisi haid (datang bulan) kecuali saat melaksanakan thawaf
(berputar mengelilingi Kabah sebanyak tujuh putaran). Baik itu tawaf qudum,
tawaf umrah, tawaf ifadhah, tawaf wada’ dan tawaf-tawaf sunnah lainnya.
Perlu diketahui bahwa thoharoh (harus
bersuci) bukanlah syarat dalam ihram dan bukan pula syarat dalam amalan
umrah atau haji lainnya selain thawaf (yang masih diperselisihkan).
Ketika sa’i, melempar jumrah, mabit dan wukuf tidak disyaratkan untuk
berthoharoh (dalam keadaan suci).
Menurut mayoritas ulama (baca: jumhur),
orang yang berhadats (besar atau kecil) tidak boleh berthawaf mengelilingi
Ka’bah. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ
الْكَلَامِ
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di
dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ
أَحَلَّ فِيهِ الْمَنْطِقَ ، فَمَنْ نَطَقَ فِيهِ فَلاَ يَنْطِقْ إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah
masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf,
maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no.
1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Lalu bagaimanakah
tawafnya wanita yang haid?
Apakah dia meninggalkan
tawaf, khususnya tawaf ifadhah yang merupakan rukun haji? Terlebih jika waktu
yang sangat singkat dan tidak memungkinkan lagi untuk menunda atau menunggu
selesainya masa haid?
Dalam hal ini maka
terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh wanita yang haid:
Pertama: jika kondisinya sudah tidak memungkinkan, maka dia
bisa meminta seseorang untuk mewakilkan dirinya dalam pelaksanaan tawaf ifadhah,
Caranya, orang yang menjadi wakil melakukan tawaf
atas dirinya terlebih dahulu, lalu ia tawaf tujuh putaran lagi bagi
wanita haid yang mewakilkan dengan niat inabah (mewakilkan).
Kedua: Menggunakan obat penunda haid. Hal ini diperkenankan untuknya sebab tawaf ifadhah adalah rukun haji. Bila ternyata obat itu efektif dalam menunda haid, wanita bersangkutan diperkenankan mandi bersih dan melakukan tawaf saat haidnya terhenti.
Ketiga: tawaf pada saat darah haid tidak keluar. Bila pada masa-masa haid seorang wanita mendapati darahnya tidak keluar, saat itu ia diperkenankan untuk mandi dan melakukan tawaf ifadhah. Dan wanita tersebut harus menahan keluarnya darah (dengan meletakkan penampal di kemaluannya agar darahnya tidak berceceran) lalu dia thawaf, sa'I dan memotong rambutnya pada safar yang sama. Karena thawafnya ketika itu darurat, dan darurat menyebabkan perkara yang terlarang menjadi boleh.
Demikianlah beberapa
cara bagi wanita yang sedang kedatangan bulan alias haid saat menjalankanibadah haji dan umrah.
Semoga artikel ini
bermanfaat bagi kita semua, dan bisa menjadi jawban bagi seluruh para wanita terkhusus
bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah haji dan umrah.
Jika informasi ini
bermanfaat bagi anda, maka silahkan untuk menyebar luaskan kepada yang lainnya,
agar ilmu yang didapat bermanfaat juga untuk
yang lainnya.
Penulis: Ust Abu
Zavier Al Mujaddid (Dewan pembina www.solusiislam.com)
Artikel www.solusiislam.com