Ilustrasi kenduren |
Do’a dan
shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita
yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam
sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita
menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak
dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana
seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana,
maupun pesta besar-besaran.
Namun ironisnya
kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Masih beruntung kalau
keluarga yang ditinggal tersebut dari keluarga yang mampu dan berkecukupan,
namun jika keluarga tersebut dari golongan tidak mampu, untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja susah, tak heran lagi mereka lalu harus menghutang
ketetangga hanya untuk memberi makan dan menjamu satu kampung dalam kurun waktu
1-7 hari, 40, 100, 1000 dst.
Na’udzubillah…,
sudah kena musibah, masih menanggung beban untuk memberi makan sekampung. Adat macam
apa ini??? Apakah ini ajaran Baginda Rasulullah SAW? dan apakah para sahabat juga melakukannya?
Baca Artikel sebelumnya: Kok gak tahlilan? kayak ngubur kucing aja.
Lalu bagaimana seharusnya?
Berikut Solusinya:
Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi
penghibur dan penguat kesabaran, Jika keluarga yang ditinggalkan dari keluarga yang tidak mampu, maka hendaknya keluarga maupun tetangga memberi santunan dan bantuan kepadanya baik berupa materi maupun motivasi.
Sebagaimana Rasulullah memerintahkan
membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam
hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far, karena mereka
sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud,
3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny,
2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527),
dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)
Tanya:
Mereka kan bersedekah kepada warga, Bukankah itu termasuk amal jariyah?
Jawab:
Rasulullah
telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk
hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan;
seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis
lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa
mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf,
membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan
kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana
umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak
makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa
sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah
faforit (yang umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat.
Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu.
Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama
menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an dapat sampai sebagaimana
puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan
al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan
hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat.
Berbeda dengan
ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat
jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat,
zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan
diri karena takut akan sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual
tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga
terdapat anak yatim atau orang lemah.
Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas
terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’:
2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya
secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Artikel: www.solusiislam.com
teimakasih memberi tambahan pengetahuan, semoga Allah membukakan hati kita untuk menerima kebenaran dengan ikhlas. amin
ReplyDelete