Solusi Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat
Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling
memvonis sesat, permusuhan, dan kebencian yang terjadi dikalangan para pemuda
yang komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham
dengan manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang menyedihkan dan sangat
disayangkan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang serius.
Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para
syaithan dari bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila
ahli kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli kebajikan tersebut
berpecah-belah karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa
perpecahan akan meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen
dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Hal ini telah
disinyalir oleh firmanNya, artinya, “Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu”.(QS. al-Anfal: 46).
“Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka”. (QS. Ali ‘Imran: 105)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka”. (QS. al-An’am: 159)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya”. (QS. asy-Syuro: 13)
Allah Subhanahu wata’ala telah
melarang kita berpecah belah dan menjelaskan tentang akibatnya yang sangat
buruk. Sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi umat yang bersatu dan
satu kata (bersepakat). Perpecahan hanyalah akan merusak dan meluluhlantakkan
urusan serta mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat pun
terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan,
permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq),
ketika itu, Jibril‘alaihissalam datang dan memerintahkannya agar
bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan
perjanjian. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda
kepada para shahabatnya, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara
kalian melakukan shalat ‘Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani
Quraizhah”. Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani
Quraizhah, sementara waktu ‘Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka
berkata, ‘Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan Bani
Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda,“Janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kalian melakukan shalat ‘Ashar melainkan (bila sudah tiba) di
perkampungan Bani Quraizhah”, karenanya kita harus mengatakan, “Sami’nâ
wa atha’nâ” (Kami dengar dan kami patuh).
Sebagian mereka yang lain berkata, “Sesungguhnya
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan
bergerak cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat”. Perihal
tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullahshallallaahu alaihi wasalam,
namun beliau shallallaahu alaihi wasalam tidak mencerca salah
seorang pun di antara mereka, tidak pula mencemooh pemahaman mereka. Jadi,
mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya karena berbeda pendapat di dalam
memahami hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam.
Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak
berpecah-belah dan menjadi umat yang bersatu. Sedangkan bila yang terjadi
justru perpecahan, maka bahayanya sangat besar. Optimisme yang
kita harapkan dan cita-citakan dari kebangkitan Islam ini akan menjadi sirna,
manakala kita mengetahui bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompok-kelompok
yang berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan
mencela.
Solusi Menyikapi perbedaan pendapat
Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti
jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat radiyallaahu ‘anhum,
mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad ini
adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir berijtihad di
dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh bahkan
ia sebenarnya adalah persepakatan.
Bagaimana bisa demikian? Saya berbeda pendapat dengan
anda dalam satu masalah dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil
yang ada pada anda berbeda dengan yang ada pada pendapat saya. Realitasnya,
kita bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita diambil berdasarkan asumsi
bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu ada di
depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil pendapatnya
sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi dari dalil.
Karenanya, saya berterima kasih dan memuji anda karena anda telah berani
berbeda pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan teman anda, sebab
perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari dalil yang menurut
anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan sesuatu ganjalan pun di
hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda atas pendapat anda tersebut,
demikian juga halnya dengan anda. Andaikata masing-masing kita memaksakan
pendapatnya untuk diambil pihak lain, niscaya pemaksaan yang saya lakukan
terhadapnya agar mengambil pendapat saya tersebut, tidak lebih utama daripada
sikap pemaksaan yang sama yang dilakukannya terhadap saya.
Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita
menjadikan perbedaan pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai
perpecahan, tetapi persepakatan sehingga terjadi titik temu dan kebaikan dapat diraih.
Akan tetapi, bila ada yang berkata, “Bisa jadi
solusi seperti ini tidak mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu
apa solusi lainnya?”
Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan
pemukanya yang meliputi semua pihak berkumpul untuk mengadakan tela’ah dan
kajian terhadap beberapa permasalahan yang diperselisihkan di antara kita,
sehingga kita bisa bersatu dan berpadu hati.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini; salah satu pihak menyatakan, “Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas dada.” Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha. Sementara pihak yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan.”Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari Allah Subhanahu waTa’ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridla.
Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di
dalam masalah yang mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling
mengafirkan satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan
sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga fardlu atau wajibnya. Inti dari
permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meletakkan tangan
di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah hukumnya, sementara
ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah mengulur tangan ke bawah.
Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh as-Sunnah (hadits) adalah
meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’d radiyallaahu ‘anhu,
dia berkata, “Dulu orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan
tangan kanan di atas pergelangan tangan kirinya di dalam shalat”.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu waTa’ala agar
menganugerahkan perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara
kami yang memiliki manhaj tersendiri di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah
betul, maka akan mudahlah solusinya. Sedangkan bila niat belum betul dan
masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap pendapatnya serta tidak
menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah upaya mencapai
kesuksesan .
Catatan : Bila perbedaan pendapat itu terjadi
pada masalah-masalah aqidah, maka hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja
yang berbeda dengan madzhab Salaf, wajib diingkari dan diberikan peringatan
terhadap orang yang meniti jalan yang menyelisihi madzhab salaf tersebut pada
sisi ini.
Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimîn, Dâr ‘Alam al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944,
dengan meringkas.
Tulisan serupa bisa anda lihat di situs www.islamisasi.com
Post a Comment Facebook Disqus Blogger
Maklumat:
1. Terima kasih atas kunjungannya, semoga bisa memberi manfaat
2. Silahkan baca artikel dan beri komentar dengan bahasa dan tutur kata yang baik
3. Semoga slalu dalam karunia Allah SWT